Tentang anak,

Buat mayoritas orang yang sudah menikah, dikaruniai anak menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Awal menikah gw juga sempet kena fase itu. Rasanya gak sabar dan deg-deg-an setiap kali mendekati waktu haid. Harap-harap cemas saat haid terlambat, check test pack, dan kecewa—bahkan nangis! Saat haid datang atau test pack masih saja 1 strip.

Sampai ditahun kedua pernikahan kami, gw pernah cracked and cried heboh di pelukan R karena tak kunjung hamil. Lalu R bilang, “Er, aku nikah sama kamu bukan karena mau punya anak. Dimata ku, kamu tak kurang satu apa karena belum hamil. Jadi jangan sedih, ya. Inget, anak itu adalah rejeki. Mungkin belum rejeki kita. Anggep aja itu bonus dari pernikahan kita, ya. Kita ini lengkap kok begini adanya”.

Diatas tahun kelima, gw sebenernya mulai mempertanyakan apakah benar gw mau punya anak?

10000% gw meyakini Allah SWT maha tahu segalanya, termasuk hati gw sendiri yang terdalam dan tersembunyi sekalipun. Yakin seyakin yakinnya gw bahwa memang gw belum mau punya anak. Belum mampu punya anak. Belum butuh anak.

Semakin sadar bahwa yang namanya anak itu adalah titipan, membuat gw berfikir berulang-ulang kali untuk berani memanjatkan doa minta rejeki itu sama Tuhan. Karena gw sadar, begitu gw meminta, dan dikabulkan, maka nantinya gw akan diminta pertanggung jawabannya. Apa gw bisa? Rasanya kok ya gak sanggup apalagi dengan jaman edan kayak gini.

Pertanyaannya nanti gak bakalan seputar ranking anak lo, prestasi di dunia, berapa cakep dan gantengnya anak lo, apalagi siapa designer baju anak lo.

No. no. no.

Yang akan ditanya adalah, apa yang sudah lo ajarkan kepada anak lo?

Bagaimana amalan agamanya?

Pintar membaca al-quran?

Bertakwa dan saleh(ah)?

Apakah titipan yang sudah kuberikan, kau jaga sepenuh hati?

Makin mikir begitu kok ya ku makin minder. Sadar kemampuan diri ini masih jauuuhhhh banget. Boro-boro lah gak usah bahas keimanan, shalat juga masih suka bolong T_T.

Itu, sih sebenernya alasan paling utama gw mengurungkan meminta rejeki anak kepada sang Maha.

Yah selain itu sih biasalah secara psikologi, blab la bla. Bisa sih sebenernya di usahakan tapi ya gitu karena ku BELUM MAU, jadi gak mau usaha lebih besar. Hehehehe.

Pertanyaan selanjutnya, gimana R?

Deep down inside mungkin dia kepengen, tapi setiap ditanya pun jawabannya masih antara mau dan tidak. Seringannya sama-sama iritasi kalo deket bayi atau anak kecil cranky.  Bawaannya pengen pocel satu-satu biar diem. Salah satu alasan terbesar tinggal dirumah sendiri juga karena ngerasa kebrisikan sama dua ponakan gw dirumah. Jadi, in this subject we both in the same line.

Same line ini adalah konci. Karena you know-lah orang Indonesia basa basi busuk klasiknya adalah pertanyaan, “kok belum isi?”. Lah dikira sini Tuhan kali bisa isi perut sendiri? Kalo isi makanan sih banyak, hahahahaha. Pemahaman yang sama dengan pasangan sangat membantu lo dikala orang lain komentar tentang hal sensitive ini. Dia akan bantu lo untuk perangi orang itu sama-sama. Hahahaha. Aslik ini kejadian bener sih, lo jangan sampe bahas ttg kenapa gw belum hamil di depan R ya, gw nya bisa santai aja, tapi R yang bakalan murkaaaa…hahahahaha. Sekarang sih kami udah kebal dan mulai gak ada yang nyinggung-nyinggung lagi tentang, “kapan punya anak” karena kami selalu ngelengos dan gak perduli untuk bahkan, menjawab pertanyaan itu.

Entah sampai kapan kita tetap berdua. Umur emang jalan terus. Makin tua makin menipis kepengenan punya anaknya. Jikapun satu hari ingin, kok gw maunya angkat anak aja ya yang udah gedean gitu jadi gak ngalamin fase bayi growth sprout whatsoever itu ya?

 

***

The bottom line is, buat adek-adek gemes yang belum menikah, harus paham dulu kalau anak itu rejeki. Tidak semua pasangan dikasih rejeki anak. Rejeki bentuknya berbeda-beda. Ya mesti pinter-pinter bersyukur atas rejeki yg dikasih. Pinter-pinter liat sisi positif daripada sumuk sama hal tertentu yang gak dipunya. Bahwa menikah itu sungguh ga gampang. Menikah itu bukan cermin kebahagiaan. Bahagia harus disertai effort yang terus menerus untuk bisa tetap merasa bahagia. Kadang capek, yes. Kadang bikin frustasi. Tapi ya itu menikah, harus terus bebenah diri sendiri dan kompromi sama pasangan yang sudah lo pilih, there is no turning back. Apapun yang terjadi, tanggung segala resiko–termasuk kalau ternyata, anak bukan rejeki lo.

Maka adek adek sekalian, kakak cuma mau bilang 2 kata: choose wisely.

Leave a comment